Neraca. Tidak ada yang gratis di penjara. Terlebih lagi untuk mendapatkan perlakuan baik dan kemewahan. Hal ini adalah kenyataan yang terus terungkap menyusul tuduhan adanya perputaran uang di dalam penjara. Bukan hanya Rumah Tahanan Pondok Bambu –seperti yang terbongkar saat sidak– yang menyediakan fasilitas mewah di penjara, tapi juga Lembaga Pemasyarakatan Salemba, Jakarta Pusat.
Kenyataan itu diungkapkan salah seorang mantan tahanan LP Salemba kepada awak media. Bahkan, perputaran uang di LP Salemba dapat mencapai miliaran rupiah setiap harinya. Ditambahkannya, narapidana wajib menyetorkan uang kepada petugas penjara.
“Kamarnya saja sekitar Rp 30 jutaan. Cuma sekali bayar,” katanya. Namun bila kocek napi tidak cukup, bisa juga memilih “kamar” standar yang harga minimalnya Rp 3 jutaan. Di dalamnya, si “penyewa” memperoleh fasilitas televisi, kipas angin, dispenser, magic jar. “Lengkap seperti di rumah, di dalamnya sekitar lima sampai 10 orang,” lanjutnya.
Memang cukup sekali menyetor duit demi mendapatkan fasilitas tersebut. Namun tiap pekannya, para napi harus merogoh kantong lagi untuk membayar iuran. “Berikutnya, ada iuran mingguannya,” tandas dia. Sejauh ini belum ada tanggapan dari pihak LP Salemba mengenai hal itu.
Beberapa waktu lalu, Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak ke Rutan Pondok Bambu. Dari sidak terkuak adanya fasilitas mewah yang diberikan kepada sejumlah napi, yang di antaranya Artalita Suryani. Sel berukuran delapan kali delapan meter tempat Ayin meringkuk dilengkapi kulkas, televisi layar datar, hingga penyejuk ruangan. Bukan cuma itu, ada sebuah ruang untuk bersantai dan berkaraoke tak jauh dari sel Ayin.
Moratorium mengenai remisi bagi para koruptor serta merta menimbulkan pro dan kontra di kalangan penggiat masalah hukum. Bagi yang menganut madzhab formalitas hukum, remisi adalah hak asasi narapidana (HAN) sehingga tidak serta merta dicabut oleh suatu moratorium. Bagi penganut madzhab materialitas hukum, remisi bukanlah hak asasi narapidana yang untuk memperolehnya diperlukan syarat-syarat sebagaimana disebutkan di Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan Warga Pemasyarakatan yang kemudian diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
Di waktu lain santer beredar tentang penjara dengan fasilitas yang mewah yang kebetulan penghuni-penghuninya adalah koruptor. Semuanya bermuara pada suatu tindak pidana yang sama yaitu korupsi. Masalah korupsi sedemikian kronis sehingga koruptorpun akan ikut serta memberikan pendapat tentang koruptor lain dan lupa kalau dia juga koruptor.
Hukum positif kita mengalami seolah deadlock ketika berhadapan dengan masalah korupsi. Berbagai macam instrumen, aturan dan lembaga yang ditujukan untuk memberantas korupsi tampaknya semakin memberikan energi besar bagi korupsi sehingga semakin ditekan akan memberikan reaksi yang semakin besar.
Terlepas dari perdebatan yang menghebat tentang remisi atau penjara mewah, faktanya itu terjadi dan ada. Mungkin kita harus mulai berkompromi (bukan berdamai) dengan koruptor. Dunia intelejen di sisi lain menganggap bahwa preman atau teroris sebagai aset informasi yang sangat berharga. Dalam dunia perkorupsian, mengapa tidak juga dianut anggapan dalam dunia intelejen? Bukan sebagai aset informasi akan tetapi menjadi aset ekonomi.
Remisi dan fasilitas mewah penjara secara gamblang menunjukan sisi psikologis yang tidak bisa dibantah yaitu betapa tidak nyamannya tinggal di penjara sehingga orang tidak mau berlama-lama didalamnya ataupun kalau harus berlama-lama maka jika bisa dibuat seperti tidak dipenjara entahlah di itu bersuasanakan kamar pribadi atau hotel berbintang. Jika orang mau membayar mahal untuk menyewa kamar hotel karena membeli kenyamanan, mengapa penjara yang ada disulap seperti hotel berbintang yang kemudian dihuni oleh terpidana korupsi dengan tarif yang teramat mahal yang malah dengan uang tersebut bisa dibuat penjara baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar